Candi Borobudur adalah salah satu Candi beraliran Buddha
termegah di dunia yang diresmikan tanggal 23 Pebruari 1983,dan menjadi salah satu warisan keajaiban dunia yang masih ramai dikunjungi.Tapi, benarkah Candi tersebut bernama Borobudur?
Sampai sekarang nama “Borobudur” itu sendiri masih menjadi bahan perdebatan tiada habis oleh para ahli. Menurut
orang-orang tua di sekitar Borobudur. Boro adalah nama desa di kaki Candi,
budur berarti kuil. Jadi Borobudur adalah kuil yang berada di Desa Boro.
Sayangnya desa yang bernama Boro ini sudah tidak dijumpai lagi saat ini.
Kepopuleran Nama Candi yang Ada di Indonesia
Pada umumnya Candi-Candi di Indonesia pasti mempunyai nama,
baik itu nama asli ataupun nama tambahan. Kebanyakan nama Candi yang mengikuti
nama daerahnya merupakan nama tambahan.Yang Uniknya Candi-candi yang ada di Indonesia malah lebih dikenal nama julukannya(Nama Tambahan), yang notabene tak jarang ditemukan karena suatu peristiwa unik yang mengilhami ditemukannya candi tersebut.Contohnya Candi Tikus yang ditemukan di Mojokerto yang identik dengan sarang Tikus dahulunya.Nah, untuk itu mari kita simak nama-nama candi tersebut.
Berdasarkan bukti-bukti, Candi Sewu mempunyai nama asli
“Manjuri-Gerha”. Diduga, nama tambahan Sewu (Indonesia:seribu), diberikan
karena Manjuri-Gerha merupakan kompleks percandian yang sukar untuk dihitung
satu persatu.
Pada Candi lain yaitu Candi kalasan, nama aslinya adalah
“Tarabhawana”. Nama Kalasan adalah nama daerahnya, namun justru nama daerahnya
inilah yang kemudian lazim digunakan untuk menyebut Candi Tarabhawana.
Demikian pula dnegan Candi Roro Jonggrang. Sebenarnya nama
aslinya adalah "Siwa-Gerha”, namun entah mengapa Candi yang dihubungkan dengan cerita rakyat,
malah menyebut Candi Siwa Gerha dengan Roro Jonggrang; tokoh yang hidup dalam
dongeng rakyat Jawa itu. Bahkan Siwa Gerha ini, pun akrab dengan sebutan nama
daerahnya, yaitu Prambanan.
PENAFSIRAN
Orang-orang Eropa menganggap Rafles-lah yang berjasa besar
dalam mempopulerkan Borobudur, sehingga ada anggapan Rafles merupakan sumber
pertama dan utama Candi Borobudur. Padahal berabad-abad sebelum masa
kegubernurannya. Kitab-kitab Sastra Jawa telah menyinggung Borobudur, meskipun
tidak mengungkapkannya secara keseluruhan.
Rafles mengartikan kata “Boro" sebagai “Agung”. Dan “budur”
sebagai “Buddha”. Jika digabungkan. Borobudur berarti “Sang Budha yang Agung”. Sejarawan Bangsa Indonesia, Prof. Dr. Poerbatjaraka
mengatakan bahwa “Boro” tidak lain adalah “Bara”. Menurutnya Boro merupakan
ucapan dialek Jaawa untuk menyebut Bara. Bara itu sendiri merupakan
perkembangan dari kata Biara. Sehingga Borobudur berarti “Biara Budur”.
Pendapat Poerbatjaraka ini didasarkan adanya temuan pondasi
batu wadas dan sebuah genta yang ditemukan di halaman barat laut Borobudur.
Genta menurutnya merupakan sebuah benda yang lazim digunakan pada
upacara-upacara dalam biara, dan pondasi itu menunjukkan, bahwa mungkin saja di
situ pernah berdiri sebuah biara.
Sampai sekarang belum ditemukan sebauh kitab sastra ataupun
prasasti yang menguraikan secara lengkap mengenai Borobudur. Mestkipun demikian
ada beberapa kitab sastra Jawa yang menyinggungnya secara sepintas.
Dalam Babad Tanah Jawa, ada satu bagian yang menyinggung
tentang Borobudur. Isi cerita sebagai berikut: Pada tahun 1709 di desa
Ngenta-enta ada seorang pemberontak bernama Ki Mas Dana, menantu Ki Gede
Pacukilan Setelah menjadi Mantri Bupati, Ki Mas Dana menyerang Bupati Mentawis,
Ki Jaya Winoto. Ki Jaya Winoto kalah dan mengadu pada sunan di Surakarta.
Mendengar keterangan ini Sunan memerintakan Panglima Pringgalaya untuk
menangkapnya hidup-hidup. Panglima Pringgalaya berangakat dengan membawa
pasukan berjumlah setengah dari pasukan Surakarta. Sesampai di Ngenta-enta,
kedua pasukan bertempur mati-matian. Ki Mas Dana kalah dan bersembunyi ke Regi
Borobudur (regi berarti bukit atau gunung), tetapi akhirnya ia tertangkap dan
dibawa ke Surakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dalam cerita babad ini, Borobudur hanya disinggung singkat
sekali, dan Borobudur yang dijadikan tempat persembunyian oleh Ki Mas Dana,
memberikan kesimpulan kepada kita, bahwa pada saat itu keadaan Borobudur tidak
terawat sebagaimana mustinya.
Limapuluh tahun kemudian. Babad Mataram pun menyinggung
tentang Borobudur, juga secara sepintas. Kisahnya sebagai berikut: Pada masa
itu, di Kraton Yogyakarta, Sri Sultan I mempunyai seorang putra laki-laki yang
akna menggantikannya kelak. Diceritakan, anak laki-laki bernama Pangeran Dipati
mempunyai kelakuan yang menyulitkan dan memprihatinkan orang tuanya. Ia tidak
pernah mau belajar tentang kesastraan Jawa, tetapi sombongnya luar biasa,
bahkan sering melanggar larangan-larangan ayahya.
Pada suatu hari, Pangeran Dipati sengaja pergi ke Borobudur
untuk melihat-lihat Arca Seribu. Padahal pergi ke Candi Borobudur merupakan
pantangan bagi keluarga raja-raja Mataram, khususnya kalangan kraton
Yogyakarta. Pantangan ini merupakan larangan turun temurun dari leluhur kraton,
karena di antara Arca Seribu itu terdapatn arca ksatria dalam kurungan. Arca
ksatria dalam kurungan ini, akan melepaskan kutukan yang dapat mengakibatkan
kematian bagi keluarga kraton yang datang melihatnya.
Setelah puas melihat-lihat Arca Seribu, Pangeran Dipati
segera kembali ke istana. Gegerlah keluarga Kraton Yogyakarta mengetahui putra
mahkota baru saja mengunjungi tempat terlarang dan ternyata kutukan itu benar-benar
menimpa Pangeran Dipati, tak lama kemudian ia meninggal dunia.
Menurut beberapa para ahli, diduga Arca Ksatria dalam
kurungan adalah Arca Budha yang terdapat dalam stupa terbesar, yang terletak di
puncak Candi Borobudur. Didalam kitab Sastra Jawa yang lain, yaitu Negerakrtagama,
slaah satu kitab terbesar sejak Kerajaan Majapahi, pada pupuh 77 bait 3
menyebutkan semua tempat-tempat suci agama Budha di Jawa. Diantaranya Budur,
sebagai tempat suci Budha aliran Mahayana sekte Wajragara.(oleh Erie Sudewo).
BEBERAPA AHLI
NJ. Krom, seorang sarjana Belanda, menduga nama Budur yang
tercantum di dalam Negarakertagama tidak sama dengan Candi Borobudur sekarang.
Nama-nama tempat suci agama Budha yang disebutkan dalam kitab tersebut hanya
terdapat di Jawa Timur. Oleh karenanya tidak masuk akal jika nama Budur
tiba-tiba saja muncul dalam deretan nama-nama tersebut, sebab letak Budur ada
di Jawa Tengah.
Hanya sayangnya Krom tidak memberikan alternatif lain, di
mana letak Budur jika di Jawa Timur. Pendapat Krom ditentang beberapa sarjana, di antaranya F.D.K
Bosch berpendapat bahwa Korm lah yang tidak tepat menafsirkan pupuh 77 bait 33
Negarakrtagama itu, karena nama-nama tempat suci yang disebutkannya tidak hanya
terletak di Jawa Timur, tetapi juga di Jawa Tengah, bahkan mungkin pula di Jawa
Barat.
Bosch menerangkan lebih lanjut, di samping Budur ada
beberapa nama tempat suci yang terdapat di Jawa Tengah. Diantaranya Menanggung
dan Watukura. Dalam Prasasti Canggal yang berangka tahun 878 C dari Gunung
Wukir, menyebutkan letak Menanggung tidak jauh dari Borobudur. Berarti jelas
bahwa Menanggung berada di Jawa Tengah. Menurut beberapa dugaan menanggung
adalah Temanggung sekarang.
Sampai saat ini, penafsiran masih berkisar antara lain
Borobudur dan letaknya. Barulah setelah Casparis menyodorkan sebuah prasasti
yang berhasil ia pecahkan rahasianya, penafsiran berkisar ke arah lain. Prasasti itu adalah Prasasti Kahulunan, 842 C. Di dalamnya
disebutkan kata “Bhumisabharabudhara”, yang menurut Casparis kata itu adalah
kata asal Borobudur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar